*Tulisan dibawah ini diambil dari halaman Selayang Pandang Desa Bendungan yang ada di header menu webblog ini.
Sketsa Peta Desa Bendungan (2002) |
Saat pertama kali turun dari bis dan
menginjakkan kaki di Desa Bendungan, kesan pertama yang terlintas adalah betapa
gersangnya lokasi KKNM ini dan kami akan berada disini selama satu bulan penuh.
Desa Bendungan, sebuah Desa dengan lima dusun;
Gardu Besar, Gardu Kecil, Ciyuda, Nanggorak, dan Bendungan. Desa ini berada di
‘pusat’ kecamatan Pagaden Barat yang memiliki Sembilan desa. Dikatakan 'pusat',
sebab segala aktivitas, terutama empat desa terdekat selalu terpusat di
perempatan desa Bendungan. Dengan letak geografis seperti ini, desa Bendungan
memiliki potensi percepatan pertumbuhan yang unggul dibandingkan dengan
desa-desa di sekitarnya. Sebagai gambaran, setiap hari senin malam, selalu ada
pasar malam yang letaknya di perempatan desa Bendungan. Pasar malam itu
didatangi bukan hanya oleh warga setempat, warga desa lainnya pun (seperti
Mekarwangi, Munjul, Margahayu) selalu memadati jalan-jalan di sekitar perempatan
untuk memenuhi kebutuhannya di pasar malam.
Sebagian
besar penduduk desa ini bermatapencaharian sebagai petani. Komoditas
utama pertanian desa Bendungan adalah padi. Jika kita berkeliling,
sejauh mata memandang, hamparan padi hijaulah yang mendominasi mata.
Seperti kebanyakan pola pembagian kerja masyarakat desa, ibu-ibu di desa
Bendungan pada umumnya menjadi ibu rumah tangga. Tapi ada satu hal yang
menurut kami cukup mencolok dari desa ini, yaitu kepemudaannya.
Karangtaruna
desa Bendungan memiliki anak-anak muda yang sudah 'terpelajar'.
Beberapa diantaranya bahkan sudah dan sedang mengenyam bangku pendidikan
tinggi, kebanyakan di Universitas Subang (Unsub). Dengan begitu, tidak
mengherankan jika banyak sekali kegiatan yang dibidani oleh
karangtaruna, seperti yang baru saja berakhir sebelum kami tiba di desa
ini. Karangtaruna baru saja menyelesaikan program kerja lokakarya
'otomotif' selama sebulan penuh. Kegiatan itu berupaya memberi pelatihan
dan kemampuan dasar otomotif untuk anak-anak muda di desa Bendungan.
Mungkin, dengan harapan nantinya bisa membuka lapangan usaha seperti
bengkel motor.
Di
bidang kesehatan, kemandirian desa ini harus kami akui jauh melampaui
yang kami bayangkan. Dengan segala keterbatasan pemerintah desa, para
warga berswadaya membangun lokasi-lokasi posyandu. Kader-kader kesehatan
pun mulai terbentuk.
Hal
lain yang luar biasa mengejutkan kami adalah cairnya interaksi antar
elemen desa. Mungkin bagi masyarakat desa itu sudah biasa, namun bagi
kami yang lahir dan dibesarkan oleh pabrik dan asap kendaraan bermotor,
hal itu adalah sebuah eksotisme yang tidak terelakan. Seringkali kami
mendapati aparatur desa hingga kepala desa ikut berkumpul menonton
sepakbola di warung 'Ridho'. Mereka semua duduk bersama, tertawa,
membicarakan persoalan-persoalan desa, hingga gosip-gosip yang sedang
berkembang di kalangan masyarakat desa. Fenomena yang sudah sangat
jarang terjadi di kota.
Singkat
cerita, kami melihat sebuah pola interaksi yang benar-benar 'desa' di
desa Bendungan ini. Semua warga seperti keluarga, mereka saling mengenal
dengan baik satu sama lain. Kami seperti melihat sebuah keluarga yang
tinggal di rumah besar, beratapkan langit, tidak bersekat dan bertembok,
sebuah rumah yang mereka namakan: Desa Bendungan.
\
Kantor Desa Bendungan |
***
Kami sering
membayangkan jika menjadi warga desa Bendungan, hal-hal apa saja yang
sepertinya ‘mungkin’ untuk dilakukan dan hal-hal apa saja yang seharusnya bisa
dilakukan kami sebagai warga di sana dengan segenap elemen masyarakat lainnya.
Kurang lebih, renungan sederhananya seperti ini.
Masalah paling mendasar dan selalu jadi keluhan
warga desa ini adalah tempat pembuangan akhir untuk sampah. TPA (Tempat
Pembuangan Akhir) yang tidak disediakan pemerintah setempat membuat warga desa
seringkali kebingungan harus menindaklanjuti sampah ini dengan cara apa. Maka
ketika tercetus ide untuk membuat program “Pembuatan Tong Sampah” respon dari
warga tidak begitu baik. Sebab meskipun di jalan-jalan disediakan tong sampah,
akan menjadi percuma bila setelah sampah-sampah itu terkumpul, mereka tidak tahu
harus dibuang kemana.
Berangkat dari fenomena itu, kami sempat
memikirkan, jika proposal yang dibuat warga untuk pembukaan lahan TPA tidak
disetujui pemerintah (karena memang dari informasi yang kami terima, APBD untuk
pengembangan desa memang sedikit) mengapa warga tidak melakukan inisiasi
sendiri dengan cara gotong-royong membuka lahan TPA itu. Persoalan lokasinya
bisa ditentukan dalam Musrembang (Musyawarah Rencana Pengembangan Desa) yang
rutin diadakan seminggu sekali. Jika persoalannya dana dari pembukaan lahan
itu, memang agak sulit dan selalu sensitif. Tapi yang ada di pikiran kami, toh
ini semua juga demi keberlangsungan hidup warga semua, jadi tidak ada salahnya
jika warga juga lah yang mengelola TPA mandiri itu. Justru dengan begitu,
pemerintah akan mendapat ‘tamparan’ keras dan (seharusnya) merasa malu sebab
TPA itu seharusnya memang tanggunjawab pemerintah.
Disamping masalah TPA, kami pikir tidak ada
persoalan yang begitu mendesak. Meskipun memang banyak hal yang semestinya bisa
dilakukan. Kepemudaan karangtaruna sejauh yang kami lihat sudah berperan sangat
aktif, bahkan untuk beberapa kasus, lebih aktif dibanding karangtaruna yang ada
di perumahan-perumahan di kota.
Jika kami menjadi warga desa Bendungan, kami
tidak akan membiarkan semangat modernisasi menggusur keseharian warga. Sebab
masih banyak keseharian warga yang layak untuk dipertahankan. Para
kepala keluarga yang bertani dari pagi hingga tengah hari, sementara ibu-ibu
nya membantu keuangan keluarga dengan menekuni kerajinan tertentu. Kepala desa
dan perangkat pemerintah desa yang berbaur dengan warga, menonton bola bersama
di warung ‘Ridho’ bagi kami merupakan momen yang jarang bisa ditemui. Mereka
duduk bersama menghadap secangkir kopi disertai obrolan-obrolan ringan seputar
desa. Bila di kota, segala interaksi sosial, khususnya dalam hubungan antara
pemerintah dengan warga tidak terjadi dengan lebur, semua serba kaku dan
mekanis, disini sekat-sekat itu seolah tidak pernah ada.
Sering kami terlibat dalam percakapan di warung
Ridho dengan warga desa, mereka sepertinya sudah sangat puas dan merasa cukup
dengan pola hidup saat ini. Mereka juga bangga sebab banyak warga desanya yang
sudah berpendidikan tinggi, bahkan ada beberapa juga yang menjadi dosen di
universitas-universitas terkemuka. Anak-anak muda nya sebagian sudah mulai
berpendidikan tinggi. Mereka bangga dengan itu semua dan itu membuktikan bahwa
mereka merasa bahagia dengan kehidupan yang mereka miliki.
Dengan pola ekonomi ‘katarsis’ dewasa ini, desa
selalu berperan sebagai pemenuh kebutuhan konsumsi kota. Ladang-ladang
pertanian dan peternakan yang ada di desa merupakan penopang dan penjamin
keberlangsungan hidup masyarakat kota. Dapat dibayangkan, apa jadinya jika
semua desa sedang berjalan perlahan menuju kehidupan kota. Para petani yang
setiap harinya memimpikan bisa bekerja di gedung-gedung memakai dasi dan
mengahadap monitor.
Memang, kami juga sulit membayangkan bila saya
harus menjadi bagian dari masyarakat desa dengan segala kesehariannya. Tidak
ada Wi-Fi, toko buku, café 24jam, dan berbagai perangkat yang mengesahkan suatu
daerah disebut sebagai kota. Tapi itu semua dikarenakan kami tumbuh dan besar
dengan keseharian sebagai masyarakat urban. Tentu tanggungjawab sosialnya pun
berbeda.
Matahari Pagi di Rumah Bapak Usep |
Pada
akhirnya, hari ini di kamar kost, kami
melihat seluruh benda-benda yang ada di sekeliling. Meja tempat biasa
meletakan
komputer yang digunakan untuk menulis laporan ini pasti berasal dari
keringat
penebang kayu di suatu daerah yang kami tidak pernah tahu. Nasi yang
tadi sore dimakan bisa jadi berasal dari keluarga petani yang dikunjungi
kelompok KKNM
lainnya di suatu daerah sana. Tembakau yang dihisap mungkin berasal dari
Temanggung, dari keluarga petani tembakau yang hampir kehilangan
pekerjaan dan
kehidupannya karena isu bahaya rokok belakangan ini sedang gencar. Kopi
yang diletakan di sebelah monitor ini mungkin berasal dari petani kopi
di Aceh
yang anaknya bisa dikuliahkan di Bandung dari hasil bertani kopi. Lalu
ayam
penyet yang tadi sore dimakan bisa jadi adalah ayam hasil peternakan
Bapak
Usep di desa Bendungan. Kita tidak pernah tahu, olehsebab itu kita jadi
lupa
untuk berterimakasih. Kita hanya berpikir ketika sudah membelinya dengan
uang,
segala persoalan selesai.
Ketika kami pandangi lagi sekeliling, ucap
syukur dan terimakasih tidak henti-hentinya kami ucapkan kepada mereka,
keluarga-keluarga desa yang dengan keringat dan susah-payahnya telah menopang
dan menjamin keberlangsungan hidup kita selama ini, masyarakat urban. Terimakasih...
Aku membayangkan apa yang akan aku lakukan "seandainya" aku menjadi warga dari Desa Bendungan.
Dusun Gardu (baik Gardu Besar atau Gardu Kecil), yang terletak paling jauh dari dusun yang lain, kurang lebih 1-2 kilometer, seakan tidak terjalin komunikasi yang baik terutama jika dilihat dari sisi kepemudaan. Aku membandingkan kondisi anak muda di dusun Gardu yang setelah mengobrol dengan warga, dipandang "bengal" dan paling banyak masalah, tidak seperti di dusun lain yang "baik-baik saja".
Disinilah salah satu tugas Karang Taruna di Desa Bendungan untuk merangkul mereka. Terpikirkan beberapa cara yang salah satunya adalah membuat sebuah acara rutin entah kompetisi sepak bola atau voli antar dusun dengan melibatkan anak muda disana. Pengadaannyapun secara bergiliran diadakan di lapangan Bendungan dan di lapangan dusun gardu. Tujuannya jelas untuk membaurkan warga dan anak muda antar dusun, dengan harapan anak muda disana terbuka pikirannya dan semangat mudanya disalurkan kepada hal yang baik.
Walaupun selama kami disana semua baik-baik saja, karena kamipun merasakan hangat dan ramahnya seluruh warga Desa Bendungan kepada kami. Namun kami tentu memiliki harapan agar Desa Bendungan lebih maju dari sisi sosial masyarakatnya.
Terima Kasih
Horeeeee komentar pertama dari "Cocotism" :)
Aku sudah lihat blog barumu. Ganti alamat terus euy.
Tapi jujur, lebih suka "tema" tulisan-tulisan di blog yang sekarang. Tambahin review-review buku yang dibaca, tapi diulas dengan sudut pandang "cocotism" sepertinya keren :)
Pokoknya S.H.I.T (South Hegarmanah Institute Technology) banget lah! :D
------------------------
*nah kan jadi lupa komentar masalah postingannya :)
...harapan aku sih ada segelintir anak muda (baca:kader) "anarki" yang tidak menghendaki adanya tata pemerintahan modern (baca: demokrasi). Lalu ia melakukan provokasi "bawah tanah" dan agitasi sosial-politik, awalnya mungkin dari golongan muda dulu, lalu merambat pada tetua di desa, bahkan hingga Pak Usep lah memimpin kudeta revolusioner! Masih kurang bukti bahwa negara yang berideologi demokrasi (demokrasi ideologi gitu? hahaha- ini yang sering keliru) itu tidak dapat mempertahankan kedaulatan rakyatnya? Terutama rakyat kecil (buruh, tani, dsb) yang selalu termarginalkan.
Film "bodoh"-tapi keren; The Dictator (2012) sudah cukup jelas kan? atau yang agak rumit dikit; Fight Club (1999) menggambarkan dengan cukup bagus, kedua film itu pasti udah pada nonton kan. Buku? banyak! TAPI jangan nyari di Grame**a ya. Film dokumenternya? banyak! Novel nya? banyak! Pramoedya Ananta Toer juga sekarang udah beredar dan mudah didapatkan.
-----------
*kebawahnya, ini rahasia ya.... jangan bilang siapa-siapa :)
Yuk lihat Cuba, nah Pak Usep itu sebenarnya kadernya Fidel Castro (red: mantan presiden Cuba- yang memimpin revolusi paling sukses di dunia), dia sangat rapih menutupi semuanya, tapi ya kebetulan saja aku memergokinya di belakang rumah, di "hutan" itu dia sedang membaca "Manifesto Komunis"-nya Karl Marx, ia dikelilingi anak-anak muda yang juga menenteng buku-buku "merah", Kang Angga lagi baca "Tuhan dan Negara"-nya Mikhail Bakunin. Mereka melakukan perdebatan serius mengenai komunisme yang paling cocok antara Komunis-Marxis atau Anarko-Komunis nya Bakunin.
Bukan hanya itu, para petani pun sebagian besar sudah mulai melakukan pergerakan, flyer-fyler gelap mulai bertebaran seperti wabah hantu, di punggung kiri mereka semua memiliki tato A ("A" dalam lingkaran, -baca: Anarko-Komunis), sebagian kelompok lainnya memiliki tato "palu-arit".
Tinggal menunggu waktu hingga tiba saatnya desa Bendungan menjadi tempat kebangkitan mayat-mayat komunis yang di bantai di Boven Digoel, hantu-hantu itu akan bangkit, merusak segalanya, seperti halnya dulu ketika mereka dibantai. Mayat-mayat itu akan mengetuk setiap rumah, menjatuhkan foto presiden di sekolah-sekolah, gedung pemerintahan meledak disana-sini, perkantoran, sentra bisnis, dan institusi pendidikan semuanya terbakar hangus...-
---------------
...duh, tadi ngetik apa ya?
*efek cocotism nih, jadi ngelantur :)
kabuuuuuuurrrrrr........
Hohoho ya begitulah ijal-isme, orang labil sepertiku sepertinya harus mulai dari cocot-cocot tidak jelas dulu sebelum merubah dunia *sok penting :D
Buku ya? dicoba dulu hehehe :)
---------------------------------------
.....Oh tentu tidak bisa!
Asalkan kau tahu, kang Toto adalah seorang liberalis, dan pengikutnya dari kalangan pedagang (baca: borjuis) setempat cukup banyak. Aku melihat semboyan Liberté, égalité, fraternité (red:Kemerdekaan, Persamaan derajat, dan Persaudaraan - bukan xtc atau brigez) di tembok belakang apotek dan Buku-buku John Locke hingga Adam Smith disuatu ruang rahasia dibawah tanah.
Apa kau kira beliau (harus menggunakan kata "beliau" agar tidak merendahkan martabat sebagai kaum borjuis - loh? katanya persamaan derajat?) tidak tahu!? Oh tentu tahu tentang gerakan "revolusi" yang akan meletus. Namun tidak akan habis akal untuk memanfaatkan "proletarian" bodoh tanpa modal itu!
Target beliau adalah pemerintahan, dan para proletar adalah alatnya.
Lalu....
*oke sudahi saja sebelum efek cocotism-ku semakin parah hehehe :D
afk
S.H.I.T !!!
hus hus hus...
kaum borjuasi tak boleh ada di postingan ini :p
mamang sebagai warga Kampung Gardu Besar, iya betul sekali itu akang - akang Pemuda yang berasal dari Kampung gardu kebanyakan bengal - bengal tapi ndak semua loh hahaha termasuk anak mamang dan ipar mamang.... sampai sampai SDN Gardu mukti kalau mau melanjutkan sekolah SMP suka pada ditolak " biang kerusuhan katanya hahahah"
mungkin karena kepala desanya kurang blusukan... sampai saat ini tuh warga kampung belum tau kepala desa berkunjung kekampung Gardu, takut kali ya hahahah... pis ah terimakasih akang - akang